Fatmawati Bachtiar (Fatma's Miracle)
Tulisan awal dari judul ini merupakan tulisan features yang dibuat sama kakak letting ku.. Kak Mikial Maulita... Tapi..... berhubung ada tugas dari salah satu dosen terfavorit di kampus, Pak Fairus yang membimbing "kami" para mahasiswa-mahasiswi nya yang baik-baik, cantik-cantik, ganteng-ganteng pinter-pinter and masih banyak lagi sifat-sifat yang bikin seseorang memahami dirinya tuk naek ke bulan,, Nah Beliau ini menyuruh "kami' untuk membuat ulang dengan bahasa sendiri dari tulisan features ini. enggak tw dech hasil tulisannya lebih bagus or lebih sederhana dari tulisan aslinya.. So, inilah dia tulisan features yang diriku ukirkan dari tulisan features dgn judul yang sama:

Sepucuk Surat Dari Tokyo

Seorang gadis yang bernama Mikial Maulita adalah seorang gadis tomboi yang berjuang dalam hidupnya. Berjuang dengan asa dan upayanya dalam meraih mimpi dan membangun kembali semangatnya. Yaa semangat yang dia dapatkan dari perjalanan hidupnya di Bumi Aceh dan Jepang. Ketika dirinya berada di Jepang, Mikial menulis surat tentang perjalanan hidupnya. Surat itu kini bisa dibaca oleh siapa saja. Karena telah terposting di sebuah portai berita online. Dan isi surat itu menceritakan masa perjalanannya yang berawal dari masa kecilnya. Dan ini isi suratnya:

Saat Mikial masih duduk di Sekolah dasar, dirinya bertekad untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah pesantren setelah menamatkan masa belajarnya di Sekolah Dasar (SD). Mikial memilih pilihan yang cukup mengejutkan teman-temannya, yaa karena sosok dia yang tomboi membuat teman-temannya tak percaya dan yakin sepenuhnya dengan pilihannya. Namun Mikial tak putus dan menyerah begitu saja, dirinya membuktikan kesungguhannya dengan belajar dan kerja keras untuk lulus di pesantren tersebut. Mikial memilih melanjutkan masa sekolahnya di Pesantren Al-Falah Abu Lam U.
Di pesantren Al-Falah Abu Lam U ini, Mikial ingin menuntut ilmunya dan menambah keimanannya. Ketika dirinya dinyatakan lulus di pesantren ini, Mikial diantar oleh orang tuanya, ini menjadi kenangan yang sangat berharga bagi dirinya saat ini dan untuk selamanya. Waktu demi waktu terus berdetik, Mikial mulai tak betah dengan lingkungan pesantren ini, karena peraturan-peraturan dan kedisiplinan yang ketat. Sehingga setiap kali orang tuanya menjengguk dirinya, dia selalu meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk meninggalkan pesantren Al-Falah ini dan melanjutkan sekolahnya di sekolah umum yang lainnya. Namun ayah dan ibunya selalu memberi penjelasan dan mengukir harapan dan kesuksesan padanya untuk tetap bertahan menjadi santri yang baik.
Dengan harapan dari orang tuanya itu, Mikial terus bertahan. Dan hampir tiga tahun dirinya belajar di pondok pesantren ini. Dan keinginan untuk menamatkan masa sekolah SMP semakin besar, begitu juga dengan keinginan yang selalu hadir dalam benaknya. Dalam kunjungan orang tua di hari kunjungan, seperti biasa Mikial mulai mengatakan keinginan yang sama, yaa keinginan untuk melanjutkan sekolahnya di tempat lain. Dan dirinya menyampaikan dan menjelaskan keinginannya tersebut dengan alasan yang berbeda. Mikial berkata kepada ayahnya, “Adik ingin merasakan pengalaman yang berbeda di luar sana, ayah”.   
Namun ayahnya kembali memberikan penjelasan dan harapan kepadanya. Ayah Mikial memberikan amanah kepada Mikial, “Ayah mau adik tetap sekolah dan belajar di pesantren ini. Insya Allah jika tiba waktunya, adik akan merasakan pengalaman yang jauh lebih berharga dari pada yang adik harapkan saat ini. Ayah mau adik menyelesaikan sekolah di pondok ini hingga wisuda nanti.” Saat ayahnya menyampaikan hal itu, Mikial hanya terdiam dan menyalami kedua tangan orang tuanya sebelum mereka berpamitan.
Setelah seminggu kemudian, Mikial merasakan gempa bumi yang cukup kuat menguncang  tanah kelahirannya Aceh, tanpa mengetahui efek selanjutnya dari gempa bumi tersebut. Hingga akhirnya Mikial mulai mengetahuinya dari Ustadzah Aan, bahwa gempa bumi yang dirasakan olehnya dan semua orang telah mengukir sejarah di Aceh dengan bencana tsunami. Bencana alam yang terlahir dari lautan itu telah berhasil memporak-porandakan kota dan mengambil ribuan nyawa manusia dalam sekejap. Saat itu Mikial hanya bisa berdoa dan memohon kepada Allah agar orang tua dan keluarganya selamat dari bencana tersebut. Hingga waktu menjelang sore, Mikial belum mendapatkan kabar apapun tentang orang tua dan keluarganya, itu membuat Mikial resah dan terus memikirkan keselamatan mereka. Dan ketika kabar duka yang datang kepada teman-teman sepondoknya, membuat Mikal tambah tak tenang dan terus berdoa.
Hari demi hari terus berganti, kabar tentang orang tuanya tak kunjung datang. Mikial terus menunggu. Hingga akhirnya pada suatu hari, abang Mikial yang bernama Indriansyah datang ke pondok pesantren. Dari abangnya,Mikial mendengar kabar bahwa Ibunya telah meninggal. Mendengar kabar tersebut Mikial menjadi sangat sedih, dirinya masih tak percaya dengan kabar tersebut. Dirinya selalu menyakinkan diri bahwa ayah dan ibunya masih hidup dan bertahan di suatu tempat. Dirinya terus berdoa untuk keselamatan ayah dan ibunya. Namun keberadaan dan kabar keselamatan orang tuanya tak tersiarkan kepadanya, tapi harapan tentang orang tuanya masih hidup tersebut terus dipertahankannya dalam benaknya.
Mikial terus tetap bertahan di pondok pesantren dengan teman-temannya dan ustadz-ustadzah yang juga masih tetap menunggu di sana. Hingga akhirnya ketika kakak Mikial yang selamat dari bencana Tsunami tersebut Vera Apriana datang ke pesantren dan menjemput Mikial untuk pulang. Namun tetap dengan harapan yang tak pernah berubah, Mikial memutuskan untuk tetap berada di pesantren hingga ayah dan ibunya yang menjemput dan mengajaknya pulang.
Dua minggu setelah pascamusibah gempa dan tsunami, kabar dan kedatangan ayah dan ibunya juga belum terwujudkan. Kini harapan dan keyakinan bahwa orang tuannya masih hidup telah sirna. Hanya kesedihan dan gelapnya masa depan tanpa orang tua hadir dalam kepedihan dan kesendiriannya. Yaa kesendirian  yang terus menyelimutinya, hanya tangisan dan air mata yang menemaninya saat dirinya sendiri dan terlena dalam ke-khusyuk-kan shalat dan doanya.
Pada suatu sore, teman sepondoknya Mustika Adilla dan kakaknya Nila Anggraini berkunjung ke pesantren. Mereka terkejut saat mengetahui bahwa Mikial masih tinggal di pesantren. Sehingga mereka ingin mengajak Mikial untuk tinggal bersama keluarga mereka. Awalnya Mikial menolak, namun karena mereka terus mengajak dan juga dorongan dari dan ustadz-ustadzah di pondok pesantrennya akhirnya Mikial menyerah dan ikut bersama mereka.
Dan setibanya di rumah temannya itu, Mikial di sambut hangat oleh ibu temannya itu, Ibu Ernawilis. “Anggap saja keluarga ini seperti keluargamu sendiri nak,” Begitulah kata ibu Ernawilis dengan ramah. Ketika mendengar ucapan itu, Mikial sangat ingin menangis. Dirinya teringat kepada ibunya. Terkenang dalam dirinya untuk tinggal bersama ibunya dan berharap ibunya yang menyambut dirinya dalam pelukan hangat yang hanya bisa didapatkan dari seorang ibu. Tapi melihat kehangatan dan senyuman dari keluarga itu, membuat Mikial tetap menampakkan ketegaran. Dan seiringnya waktu keluarga itu telah menjadi keluarga baru untuk Mikial.
Satu bulan telah berlalu, dan sudah waktunya semua santri kembali ke pesantren dan melanjutkan proses belajar. Di pondok pesantren ini, Mikial tidak bersemangat sama sekali, semuanya telah berbeda tak ada lagi canda tawa, cerita bahagia dan senda gurau. Mikial telah menjadi seorang gadis yang pemurung dan tidak ada lagi tawa yang ia berikan dalam hidupnya.
Waktu terus berputar, Mikial tetap melanjutkan belajarnya di Pesantren Al-Falah ini. Hingga di suatu saat pihak pesantren menerima undangan untuk anak-anak korban tsunami untuk mengikuti Ashinaga International summer Camp di Jepang. Dan Mikial terpilih menjadi  salah seorang santri yang mewakili pesantrennya untuk mengikuti program tersebut.
Bagaikan mimpi, Mikial telah menginjakkan kakinya di Jepang dan bergabung dengan anak-anakn yatim lainnya dari berbagai negara karena musibah tsunami tersebut. Melihat semangat dari anak-anak yatim lainnya yang berusaha bangkit dari masa-masa kesedihan tersebut, membuat Mikial menyadari bahwa tidak baik untuk terus berada dalam rajutan benang kusut kesedihan. Mikial terus berusaha bangkit dan memumpuk kembali rasa bahagianya dengan harapan dan cita-cita dirinya serta harapan dari orang tuanya. Selama di Jepang, Mikial banyak mendengar dan belajar dari kisah-kisah anak-anak yatim yang mengikuti program Ashinaga International summer Camp.
Setelah kembali ke Aceh, Mikial mulai merajut harapan dan cita-citanya dengan belajar segiat mungkin, berusaha keras dan terus memotivasi dirinya untuk kembali bangkit dari kesedihan. Dan akhirnya usahanya telah menjadi sebuah rajutan utuh yang sangat indah. Mikial telah menempuh pendidikannya selama 3 tahun dan berhasil memenuhi amanah orang tuanya dengan bertahan di pesantren hingga wisuda dan meraih prediket kesuksesannya “Jaid Jiddan”. Walaupun saat wisuda tersebut Mikial tidak bersama orang tuanya, namun Mikial yakin bahwa orang tuanya sangat senang.
Setelah lulus dari pesantren tersebut, Mikial memperoleh beasiswa S1  di Jepang. Kini Mikial telah tercatat sebagai mahasiswi di salah satu univeritas ternama, yaitu Universitas Waseda di Tokyo. Disinilah Mikial melanjutkan study­-nya dan mengejar serta mewujudkan mimpi-mimpinya. Mikial ingin membuktikan bahwa seorang anak yatim tidak harus berputus asa untuk semangat dan bermimpi. Kehilangan orang tua bukan menjadi penghalang untuk terus bermimpi dan berkarya, justru itu menjadi penguat diri untuk meraih masa depan yang cemerlang. Walaupun seorang anak yatim, tapi bisa membangun kehidupan yang baik dan mengukir senyum kepada orang tua seperti anak-anak lainnya. Mikial terus belajar arti kehidupan setiap dirinya menjalankan aktivitasnya, memahami, berusaha dan tentunya berdoa kepada Allah agar selalu menuntunnya ke jalan yang baik untuk hidupnya.


1 Response
  1. ghilad Says:

    subhannallah perjuangan seorang mikial mulita yang patut di contoh...


Posting Komentar